Pengawasan Berbasis Masyarakat

Dasar Hukum

Pengawasan Terumbu Karang Di Laut Berbasis Masyarakat[1]

 

Oleh:

Dr. Budiman N.P.D Sinaga,S.H.,M.H.[2]

 

 

Yang harus kita pelajari bukan saja apa yang dilakukan oleh negara

melainkan juga apa yang tidak dilakukan negara.

Clause Offe

 

Bagi manusia, hukum paling sedikit berfungsi untuk mencapai dua target utama: ketertiban umum dan (yang pada gilirannya menciptakan keadaan yang kondusif untuk mencapai) keadilan.[4]  Pengawasan adalah setiap upaya dan atau tindakan yang bertujuan menciptakan tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Berikut ini beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan terutama dalam rangka pengawasan.

  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)
  • Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan
  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
  • SK MENKP Nomor Kep58/Men/2001 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Siswasmas
  • Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang

Berikut ini disampaikan beberapa ketentuan dari sebagian peraturan perundang-undangan di atas sebagai dasar hukum atau pegangan bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan terumbu karang.

 1        Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

1.1  Pasal 108

(1)          Setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan[5] atau pengaduan[6] kepada penyelidik[7] dan atau penyidik[8] baik lisan maupun tertulis;

(2)          Setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyelidik atau penyidik;

(3)          Setip pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyelidik atau penyidik;

(4)          Laporan atau pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu;

(5)          Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik;

(6)          Setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan.

1.2  Pasal 111

(1)   Dalam hal tertangkap tangan[9]setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik;

(2)   Setelah menerima penyerahan tersangka sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan;

(3)   Penyelidik dan penyidik yang telah menerima laporan tersebut segera datang ke tempat kejadian dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan di situ belum selesai;

(4)   Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud di atas selesai.

 

2        Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya)

2.1  Pasal 3

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

2.1  Pasal 4

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

 3        Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan)

3.1  Pasal 66

(1)   Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.

(2)   Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.

(3)   Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penyidik pegawai negeri sipil perikanan dan non penyidik pegawai negeri sipil perikanan.

2.1  Pasal 67

Masyarakat dapat diiukutsertakan dalam membantu pengawasan perikanan. (Penjelasan:  Keikutsertaan masyarakat dalam membantu pengawasan perikanan misalnya melaporkan kepada aparat penegak hukum apabila terdapat dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perikanan).

 

3        Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang (Perda Tapteng Terumbu Karang)

3.1  Pasal 16

Pemerintah Kabupaten  dapat melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui:

  1. Pengembangan mata pencaharian alternatif;
  2. Pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
  3. Peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat pesisir dan aparat pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya;
  4. Pengakuan hak dan pelimpahan tanggungjawab kepada masyarakat pesisir demi kepastian hukum dalam pengelolaan terumbu karang;
  5. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan lingkungan, secara formal maupun nonformal, yang akan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan ekosisten terumbu karang;
  6. Pengelolaan terumbu karang melalui sinkronisasi antara program-program pemerintah dengan aspirasi masyarakat di sekitar terumbu karang;
  7. Pengembangan lembaga masyarakat pengelola ekosistem terumbu karang;
  8. Peningkatan kapasitas dan kapabilitas aparat Pemerintah Kabubaten dalam mengelola eksosistem terumbu karang; dan
  9. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bupati.

3.2  Pasal 17

Hak dan kewajiban masyarakat pesisir dalam pengelolaan terumbu karang meliputi:

  1. Berperan serta dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang untuk pemenuhan kebutuhan hidup;
  2. Mengelola terumbu karang berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan perundang-undangan;
  3. Mengajukan tuntutan hukum terhadap pihak-pihak yang telah melakukan kegiatan yang merusak ekosistem terumbu karang;
  4. Memelihara kelestarian terumbu karang sebagai lingkungan sumberdaya ikan;
  5. Mengajukan usulan dalam rangka penyusunan rencana pengelolaan terumbu karang; dan
  6. Melaporkan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Daerah Kabupaten dan perundang-undangan lainnya.

3.3   Pasal 18

(a)    Masyarakat dapat menyampaikan laporan mengenai indikasi pelanggaran peraturan pengelolaan terumbu karang.

(b)   Masyarakat berhak untuk mengajukan gugatan atas pelanggaran hukum yang mengakibatkan perusakan dan/atau pencemaran terumbu karang dan/atau ekosistemnya

Dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah disampaikan dapat diketahui bahwa masyarakat dapat bahkan harus berperan aktif dalam pengawasan peraturan perundangan-undangan dan menempati peran yang sangat penting.

Peran lain masyarakat sebagai orang yang berada langsung di lokasi tindak pidana adalah sebagai saksi. Saksi[10] adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Selain itu, masyarakat dapat berperan aktif dalam rangka pembuktian.[11]

Dengan demikian, masyarakat Kabupaten Tapanuli Tengah tidak perlu ragu untuk  berperan aktif dalam pengawasan berbagai peraturan perundang-undangan termasuk tetapi tidak terbatas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terumbu karang.

—–terima kasih—–

[1] Makalah disampaikan pada ‘Pelatihan MCS (Monitoring, Controlling, Surveillance) dan Penegakan Hukum’, Hotel Bumi Asih – Pandan- Kabupaten Tapanuli Tengah, 13-15 Desember 2008.

[2] Dosen Universitas HKBP Nommensen

[3] Arif Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 122.

[4] Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum. Problematik Ketertiban yang Adil, Jakarta, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004, hal. 165-166.

[5] Pasal 1 angka 24: Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana;

[6] Pasal 1 angka 25: Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya;

[7] Pasal 1 angka 4: Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan;

[8] Pasal 1 angka 1: Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan;

[9] Pasal 1angka 19: Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu;

[10] Pasal 1 angka 26 KUHAP.

[11] Pasal 184 ayat (1) KUHAP: Alat bukti yang sah ialah:

  1. keterangan saksi;
  2. keterangan ahli;
  3. surat;
  4. petunjuk;
  5. keterangan terdakwa.

 


Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.