KPU Diminta ‘Sharing’ Terkait UU Pemilu
Medan, (Analisa). Pengamat hukum dan tata negara Dr Budiman NPD Sinaga SH M Hum menyarankan, agar KPU Sumut berikut kabupaten/kota di Sumatera Utara, lebih banyak melakukan ‘sharing’ terkait berbagai produk hukum dan undang-undang (UU) yang berhubungan dengan pemilu, khususnya menyangkut syarat-syarat bakal calon legislatif (bacaleg).
Hal itu disampaikannya kepada wartawan, Minggu (21/4), menanggapi adanya kesimpangsiuran soal status bacaleg yang pernah tersangkut hukum.
“Saya kira, makin banyak ‘sharing’, maka akan makin banyak masukan, sehingga KPU terhindar dari tindakan yang justeru melanggar hukum dan UU. Salah satu yang harus dipahami semua pihak, bahwa sebuah pasal dalam undang-undang tidak dapat berdiri sendiri, apalagi bertentangan dengan UU atau peraturan sejajar atau yang di atasnya,” kata Budiman Sinaga.
Dia menyebutkan salah satu contoh, Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang kedudukannya lebih tinggi dari UU. “Sehingga siapa yang ingin melaksanakan sebuah undang-undang, harus lebih dahulu memahami, apakah UU itu bertentangan secara langsung atau tidak langsung dengan putusan MK,” katanya.
“Kita ambil contoh UU No 8/2012 tentang Pemilu DPR RI, DPRD, dan DPD RI. Pasal 1 angka 1 menyebut, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Lalu ada Pasal 51 ayat (1) huruf g yang menyebut caleg tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih,” katanya.
“Tapi di situ ada tambahan penjelasan, bahwa persyaratan tidak berlaku bagi seseorang yang telah selesai menjalankan pidananya, terhitung lima tahun sebelum yang bersangkutan ditetapkan sebagai bakal calon serta bukan sebagai pelaku kejahatan berulang–ulang, termasuk yang dipidana penjara karena alasan politik,” sambung Guru Besar FH Universitas HKBP Nommensen ini.
Konsideran
Ditambahkannya, konsideran dan dasar hukum UU No 8/2012 adalah UU No 10/2008 tentang Pemilu DPR RI, DPD RI dan DPRD. “MK telah membuat putusan No 4/PUU-VII/2009 yang mengadili bahwa Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU No 10/2008 serta Pasal 58 huruf f UU No 12/2008, bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional),” kata Budiman.
“Artinya, karena konsideran dari UU No 8/2012 adalah UU No 10/2008 yang oleh MK diangap bertentangan dengan UUD 1945, maka secara otomatis, UU No 8/2012 ini pun turut bertentangan dengan UUD 1945,” sambungnya, seraya menegaskan, materi muatan peraturan perundang–undangan yang berisi syarat sebagaimana disampaikan di atas harus dimaknai sesuai Putusan MK, bahwa ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945.
Terkait alasan politik, dia menerangkan, ada sekurang–kurangnya lima pandangan mengenai politik antara lain, usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat, kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber–sumber yang dianggap penting.
“Contoh Pasal 146 KUHP yang menyebut, barang siapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan membubarkan suatu sidang badan pembentuk UU, badan pemerintah atau badan perwakilan rakyat yang diadakan oleh atau atas nama pemerintah, atau memaksa badan–badan tersebut menerima atau pun menolak suatu keputusan atau menyingkirkan seorang ketua atau anggota dari sidang semacam itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.
Dikaitkan dengan pandangan soal politik tadi, maka dapat diketahui dengan jelas Pasal 146 KUHP berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, sehingga dapat dikatakan sebagai kegiatan politik,” papar Budiman. (sug)